free html hit counter

Tax Amnesty Dinilai Tak Menggiurkan Wajib Pajak

BeritaBintang – Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Anggito Abimanyu menilai potensi kegagalan penerapan pengampunan pajak (tax amnesty) bermuara pada minimnya kajian yang dilakukan pemerintah atas efektivitas kebijakan tersebut.

“Jangan-jangan ada unsur, lakukan dulu lihat hasilnya nanti,” kata Anggito kepada Link Alternatif di sela acara International Conference on Tax, Investment, and Business di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (24/5).

Belajar dari kegagalan sebelumnya, Anggito kembali meragukan efektivitas kebijakan tax amnesty kali ini. Pasalnya selain minim kajian, pemerintah juga membatasi lingkup pengampunan hanya pada pidana pajak, tidak untuk pidana lainnya.

“Tidak apa waktunya pendek, 3 bulan saja misalnya, asal aset hasil TPPU (tindak pidana pencucian uang) juga bisa. Dan itu sepertinya sudah mengerucut di DPR, tak hanya pidana pajak,” jelasnya.

Akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) ini menilai semua itu merupakan dilema bagi pemerintah. Pasalnya, insentif fiskal bisa menjadi bonus yang besar bagi pengusaha untuk investasi, tetapi di sisi lain jadi ongkos penerimaan yang lebih besar bagi pemerintah.

Kepatuhan pajak yang rendah dan minimnya sumber daya manusia di bidang pajak juga menjadi tantangan bagi Indonesia. Anggito memamaparkan dari total populasi penduduk 254,8 juta jiwa, hanya 44,8 juta orang yang bekerja atau punya pendapatan tetap.

Dari 44,8 juta jiwa populasi penduduk berpenghasilan, sedikitnya 26,9 juta penduduk masuk kategori pembayar pajak. Namun kenyataannya, hanya 10,29 juta jiwa yang terdaftar sebagai Wajib Pajak atau punya NPWP. Sayangnya, yang benar-benar patuh membayar pajak hanya sekitar 1 juta orang.

Tidak Efektif

Selain itu, pria yang kini menjabat sebagai Kepala Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) tersebut menilai secara keseluruhan insentif fiskal yang selama ini diterapkan di Indonesia tidak efektif dalam meningkatkan investasi dan menambah basis WP baru.

“Kalau di negara maju, insentif pajak itu diikuti dengan bertambahnya jumlah wajib pajak. Kalau di Indonesia tidak,” ujarnya.

Anggito menilai ada yang salah dengan kebijakan insentif fiskal pemerintah selama ini karena tidak dibarengi dengan reformasi perpajakan.

“Di Indonesia, insentif pajak diberikan untuk sektor-sektor yang sedang drop, sehingga tidak menambah pemain baru. Sedangkan di negara maju justru di sektor-sektor baru yang belum dapat insentif sehingga basis pajaknya meningkat,” tuturnya.