Berita Bintang – Berapa Hari yang Ideal untuk Mengambil Cuti?
CUTI dan berlibur memang menyenangkan, tapi kemudian pada satu titik kita ingin pulang. Apakah itu karena kita sudah mencapai ‘titik puncak’?
Berlibur memang menyenangkan. Merencanakannya membuat kita bahagia, dan melakukannya menurunkan risiko depresi dan serangan jantung. Saat kita kembali bekerja, kita menjadi lebih bersemangat dan kreatif.
Tapi berapa lama seharusnya kita berlibur? Dan apakah konsep ekonomi tentang ‘titik puncak kepuasan’ bisa diterapkan untuk menentukan jumlah hari yang tepat untuk liburan, terlepas dari apakah itu berpesta atau berkemah di pegunungan?
Terlalu senang?
Konsep “titik kepuasan” punya dua makna berbeda yang saling berhubungan. Di industri makanan, istilah ini bermakna kombinasi yang sempurna akan garam, gula dan lemak dalam produk agar konsumen menyukai dan menganggap makanan ini tak mampu mereka tolak.
Namun istilah ini juga merujuk ke konsep ekonomi yang merujuk ke tingkat konsumsi di mana kita paling merasa puas; puncak di mana jika kita mengonsumsi lebih, maka tingkat kenikmatan justru menurun.
Pada makanan, rasa-rasa yang berbeda bisa membuat otak kewalahan, dan ini menurunkan keinginan kita untuk mengonsumsi lebih banyak, sesuatu yang dikenal dengan “kepuasan indera yang spesifik”. Pada musik, kita akan bosan dengan lagu favorit kita dengan mendengarkannya terlalu sering, dan ini mengubah cara otak kita merespons pada lagu tersebut.
Lalu bagaimana konsep ini berefek pada liburan? Banyak dari kita yang sampai pada titik di mana kita merasa siap pulang— meski kita bersenang-senang.
Mungkinkah bahwa dengan bersantai di pantai atau menjelajahi tempat baru, kita mendapat terlalu banyak kesenangan?
Kenapa dopamin penting?
Kita tak bisa memastikan, tapi para psikolog mengatakan bahwa dopamin, semacam zat kimia saraf di otak yang menyenangkan yang dilepaskan saat kita melakukan aktivitas memuaskan, berperan di sini.
Aktivitas memuaskan di sini termasuk hal-hal penting secara signifikan, termasuk makan dan seks, selain juga rangsangan seperti uang, berjudi atau jatuh cinta.
Dopamin diketahui menghasilkan perasaan menyenangkan. Dan menurut Peter Vuust, profesor ilmu saraf di Aarhus University di Denmark, menjelajahi tempat baru bisa meningkatkan dopamin karena aktivitas ini menantang kita beradaptasi dengan lingkungan, budaya serta rutinitas baru.
Semakin kompleks pengalaman yang kita dapat, semakin mungkin kita mendapat kepuasan akibat dopamin, katanya kepada Agen Judi Bola Online.
“Jika pengalamannya hanya satu dimensi saja, maka Anda akan cepat merasa bosan. Tapi jika beragam dan menantang, maka akan menjadi semakin menarik. Dan titik kepuasan ini akan tertunda.”
Dia menjelaskan bahwa antisipasi kita akan pengalaman menyenangkan meningkatkan kadar dopamin.
Begitu pula familiaritas, kembali ke hotel atau tempat menyenangkan yang pernah Anda kunjungi sebelumnya, contohnya — tapi familiaritas berlebihan mengurangi kenikmatan itu saat kita merasa bosan.
Kebaruan yang menyenangkan
Tak banyak penelitian akan subjek itu.
Jeroen Nawijn, seorang pengajar senior dan peneliti di Breda University of Applied Sciences di Belanda, mengatakan bahwa kebanyakan penelitian akan kebahagiaan saat liburan — termasuk penelitiannya — lebih meneliti soal liburan singkat yang tak lebih dari beberapa minggu, karena ada set data yang terbatas untuk diamati.
Penelitiannya akan perasaan 481 turis di Belanda, yang sebagian besar melakukan perjalanan dalam 17 hari atau kurang, tak menemukan bukti akan titik kepuasan.
“Saya tidak yakin orang mencapai titik kenikmatan dalam liburan yang cenderung singkat,” kata Nawijn. Tapi dia yakin ini “bisa terjadi dalam perjalanan yang lebih lama”.
Ada beberapa teori yang membuat ini mungkin terjadi. Yang pertama, kita memang akan merasa bosan, sama seperti saat kita mendengar lagu yang diulang-ulang terlalu sering dilansir dari Agen Judi Bola Online.
Satu penelitian menemukan bahwa antara sepertiga dan hampir separuh dari kesenangan yang kita peroleh saat liburan berasal dari unsur kebaruan, atau rasa yang kita dapat saat mendapat rangsangan baru dan berbeda dari keseharian.
Dalam perjalanan yang lebih panjang, ada waktu yang lebih banyak bagi kita untuk terbiasa akan lingkungan sekitar, terutama jika kita berada di satu tujuan dan melakukan aktivitas yang sama, seperti di resor liburan.
Tapi orang juga bisa membuat aktivitas liburan mereka menjadi beragam. Mungkin saja kita menikmati liburan beberapa minggu jika kita punya kebebasan dan memilih apa yang ingin kita lakukan, kata Nawijn.
Pentingnya aktivitas Anda
Kebahagiaan yang kita peroleh saat liburan memang bergantung pada apakah kita bebas memilih aktivitas yang ingin kita lakukan, menurut penelitian yang diterbitkan di Journal of Happiness Studies.
Penelitian itu menemukan bahwa ada beberapa jalur menuju kebahagiaan, termasuk melakukan aktivitas yang menantang kita dan menyediakan kesempatan untuk belajar, termasuk aktivitas bermakna yang membawa tujuan penting pada hidup kita, seperti menjadi relawan.
Jika aktivitas yang berbeda membuat orang bahagia, maka titik kepuasan adalah sesuatu yang sangat pribadi, kata Leaf Van Boven, profesor psikologi dan ahli saraf di University of Colorado di Boulder.
Dia meyakini bahwa aktivitas yang kita lakukan saat liburan bisa mempengaruhi titik-titik kepuasan itu.
Salah satu pertimbangan yang penting, menurutnya, adalah energi fisik serta psikologis yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas tersebut. Beberapa aktivitas bisa melelahkan secara fisik bagi beberapa orang, seperti trekking di pegunungan.
Aktivitas lain, seperti berpesta, bisa melelahkan secara fisik dan mental. Van Boven mengatakan bahwa pada liburan yang melelahkan, “titik kepuasan bisa terjadi di tingkat konsumsi yang lebih rendah daripada yang diharapkan orang-orang”.
Namun perbedaan individu ini cukup besar, menurut Ad Vingerhoets, seorang profesor psikologi klinis di Tilburg University di Belanda.
Menurutnya, ada beberapa orang yang merasa bahwa liburan yang aktif justru menambah energi mereka, dan bersantai di pantai malah melelahkan, atau sebaliknya.
“Memilih aktivitas yang cocok dengan selera pribadi, dan membatasi aktivitas yang melelahkan bagi kita, bisa menunda titik puas ini,” katanya. Tapi belum ada penelitian yang bisa memastikan apakah hipotesis ini benar.
Pilih suasana liburan
Faktor penting lain yang harus dipertimbangkan adalah suasana tempat kita berlibur.
Contohnya, liburan di kota bisa menarik, tapi kerumunan, kebisingan dan lampu di malam hari, yang bisa mempengaruhi tidur, bisa menimbulkan stres fisik dan emosi serta kecemasan.
“Rangsangan yang konstan di kota-kota bisa membuat indera kita kewalahan dan membuat kita stres,” kata Jessica de Bloom, seorang peneliti di Universities of Tampere dan Groningen di Finlandia dan Belanda.
Ini bisa terjadi jika kita beradaptasi ke budaya baru yang menantang kita.
“Artinya Anda mencapai titik puas lebih cepat dalam lingkungan perkotaan daripada di lingkungan yang alami, yang kita ketahui bisa meningkatkan kesehatan mental,” katanya.
Tapi lagi-lagi, perbedaan individual ini menjadi relevan. Colin Ellard, seorang profesor ilmu saraf kognitif di University of Waterloo di Kanada mengatakan bahwa meski sebagian orang merasa perkotaan adalah tempat yang menantang, ada sebagian lain yang justru menyenanginya.
Menurutnya, orang-orang yang tinggal di kota justru lebih nyaman dengan liburan di perkotaan, karena penelitian menunjukkan bahwa kita cenderung menyukai rangsangan yang familiar.
Selain itu, kata Ellard, bisa saja penghuni kota merasa stres seperti orang lain tapi mereka tak sadar karena mereka terbiasa dengan stres.
“Saya mengharapkan ada perbedaan demografis dalam titik kepuasan liburan seseorang,” katanya. Tapi minimnya penelitian di area ini menyulitkan untuk mengetahuinya secara pasti.
Kenali diri Anda
Kabar baiknya, ada berbagai cara potensial untuk menunda titik kepuasan itu, bahkan saat kita tidak tahu kapan kita mencapainya.Merencanakan tujuan, aktivitas, serta dengan siapa Anda melakukannya bisa menjadi cara untuk mengetahui titik kepuasan itu.
Ondrej Mitas, seorang peneliti emosi di Breda University, meyakini bahwa secara bawah sadar kita mengakomodasi titik kepuasan ini dengan memesan liburan dan aktivitas yang kita yakin akan kita sukai untuk waktu yang kita pilih sendiri.
Itu sebabnya liburan keluarga dan grup, yang mengombinasikan keinginan banyak orang, mungkin punya titik puas yang lebih singkat, karena kita tidak bisa memprioritaskan keinginan pribadi kita, katanya.
Namun, menurut Mitas, otonomi yang hilang itu bisa tergantikan dengan ikatan sosial yang erat dari liburan di grup, yang menurut penelitian merupakan indikasi penting dalam kebahagiaan. Maka titik kepuasan bisa ditunda.
Masalahnya, sebagian besar dari kita mungkin salah menebak tingkat kebahagiaan, kata Mitas, karena penelitian menyimpulkan bahwa kita tak terlalu mampu menebak dampak dari keputusan yang kita ambil.
“Butuh refleksi mendalam, dan mencoba-coba untuk tahu apa yang membuat kita bahagia dan untuk berapa lama, yang merupakan kunci dari menunda atau memperlama tingkat kepuasan liburan.”