free html hit counter

Populisme dan Anti-Imigrasi Barat akibat Krisis Ekonomi

BeritaBintangPopulisme dan Anti-Imigrasi Barat akibat Krisis Ekonomi

Sejumlah peristiwa seperti pilihan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa dan kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat mengejutkan dunia. Fenomena ini menunjukkan ada peningkatan gerakan populisme di negara-negara Barat yang berakar dari permasalahan ekonomi pascakrisis ekonomi 2008.

Perkiraan para akademisi hingga praktisi politik internasional meleset. Soal Brexit, misalnya. Semula, dunia internasional menganggap tidak mungkin ada negara yang mau keluar dari perserikatan negara yang digadang-gadang sebagai pelopor organisasi kerja sama regional tersukses, pembawa kebangkitan ekonomi setelah Perang Dunia II.

Sementara di seberang Atlantik, kemenangan Trump meninggalkan pertanyaan besar bagi Negeri Paman Sam yang ternyata merasa lebih aman di bawah retorika sarat sentimen xenophobia, pandangan anti-imigran, dan anti-globalisasi dari sang konglomerat.Fenomena ini mungkin akan berlanjut di Perancis, di mana dukungan terhadap Politisi sayap kanan Marine Le Pen terus meningkat. Sejumlah pihak menganggap fenomena di tiga negara ini menunjukkan penguatan gerakan populisme demokrasi Barat yang bisa berakhir pada penolakan kerja sama dan solidaritas internasional di tengah era globalisasi.

Menurut pengamat politik dan ekonomi global dari Universitas Indonesia, Beginda Pakpahan, menguatnya gerakan populisme yang lebih mengedepankan kepentingan warga negara sendiri ini disebabkan oleh situasi domestik yang tidak menentu akibat penurunan kesejahteraan rakyat kelas menengah.

Beginda menilai perkembangan gerakan populisme diakibatkan oleh ketidaksanggupan elite politik atau pemerintah suatu negara menyerap aspirasi dan kebutuhan warga negara yang menginginkan pembaharuan dalam konteks politik dan ekonomi negara.

Baca Juga: “ Katty Perry dan Ed Sheeran Bakal Tampil di iHeartRadio 2017

“Salah satu yang mendorong gerakan populisme muncul itu memang karena faktor ekonomi. Ketika suatu negara dihadapkan pada krisis di tengah globalisasi, kepercayaan warga pada elite politik mulai memudar,” ungkap Beginda.

Merujuk pada Tulisan Ronald Inglehart dan Pippa Norris yang berjudul Trump, Brexit, and the Rise of Populism: Economic Have-Nots and Cultural Backlash, ada dua hipotesis tentang terbitnya populisme di negara Eropa, yakni kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural.

Menurut Inglehart dan Norris, krisis finansial 2008-2009 membuat sejumlah negara Barat menginginkan keseimbangan baru dalam perekonomian.

Di Perancis, krisis global cukup melukai perekonomian negara. Pertumbuhan ekonomi Perancis dalam beberapa waktu terakhir menurun 0,2 persen sementara tingkat pengangguran berangsur naik dari 7,1 persen di 2008 menjadi 10.4 persen di 2015.

Berjanji menempatkan warga Perancis sebagai prioritas untuk “mengobati” perekonomian negaranya–sebuah janji yang mengamini retorika Trump ketika memenangkan kampanye–Le Pen berhasil membawa diri dan partainya menjadi salah satu capres yang digadang-gadang memiliki kedudukan kuat dalam bursa pemilu April mendatang.

Usai kemenangan Trump, Le Pen bahkan merasa semakin percaya diri menyuguhkan visi dan misi partainya, yang dikenal sebagai kubu anti-Islam dan imigran, pada warga Perancis. Terlebih, gelombang besar imigran dan pengungsi yang datang ke Eropa sejak 2015 lalu itu juga membuat Perancis dan sejumlah negara lain seperti Hungaria dan Polandia “menolak” kehadiran warga asing di negaranya.