BeritaBintang – unisab Akbar, Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkap, Menteri BUMN Rini Soemarno dalam mengelola 141 BUMN (sesuai data 2012) yang memiliki modal dari kekayaan negara yang dipisahkan sekitar antara Rp 5.000 sampai dengan Rp 6.000 triliun, langsung bisa terlihat.
Hal ini bisa ditelusuri dari ‘output’ kinerjanya yang baru dalam hitungan bulan bisa ‘mengendalikan’ dengan sempurna posisi-posisi strategis di BUMN.
“Saat Rini bergabung menjadi motor tim sukses Jokowi yang sekaligus berhasil mengantarkannya menjadi Presiden RI, kami masih belum bisa menyimpulkan seperti apa sebenarnya yang ada dalam pemikirannya,” kata Junisab Akbar Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Senin 13/7/2015).
Tetapi sekarang, menurut Junisab, sudah mulai terang benderang terlihat seperti apa motif tersebut. Salah satu parameternya adalah ketika dia mengatur susunan jajaran-jajaran Direksi BUMN yang masuk kategori sangat strategis baik dari sisi tugas pokok dan fungsi maupun dari sisi aset.
Seperti yang sudah kami paparkan tentang regulasi-regulasi yang dipengaruhinya terkait dengan dugaan ‘mengamputasi’ kemampuan atas kewenangan pengelolaan pulau Batam yang sejak masa Presiden Soeharto diplot untuk menjadi wilayah penerima ‘muntahan’ banjir perekonomian dunia dari negara tetangga yang dikenal sebagai negara broker, Singapura.
“Karena ‘pengaruh’ Rini sekarang kota itu menjadi kota mati, tidak seperti sediakala,” papar Junisab.
Dijelaskan, dari lingkup tata kelola penempatan personal dijajaran Direksi BUMN, kami akan mendalami bagaimana nilai minus yang bisa dilekatkan kepada Rini. Minus, kata Junisab, karena terlihat keputusannya tersebut ternyata bukan dalam kerangka peningkatan kemampuan BUMN menjalankan fungsinya.
“Namun lebih pada titik berat karena ‘pendekatan luar biasa’ yang intens dilakukan oleh personal-personal yang ditempatkannya tersebut semata. Rentang pendekatan-pendekatan itu yang sempat menjadi ‘bom’ yang kemudian diledakkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Itulah protesnya SBY atas adanya kasak-kusuk atau intervensi dari oknum dari Tim Transisi Joko Widodo ke BUMN-BUMN,” jelasnya.
Lebih lanjut Junisab menjelaskan, jejak awal atas dugaan adanya pendekatan itu mulai tampak saat Menteri BUMN Rini yang juga adalah sebagai kuasa pemegang saham milik negara diseluruh BUMN menunjuk Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Persero.
“Rini menempatkan Dwi diposisi BUMN yang sangat-sangat strategis dalam berbisnis dan melakukan tugas-tugas negara kepada warganya dalam bidang perminyakan,” kata dia.
Tidak cukup sampai disitu, lalu Rini melakukan kebijakan yang juga patut untuk dipertanyakan dengan menempatkan Sofyan Basir yang adalah Dirut PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi Dirut PT Perusahaan Listik Negara (PLN) Persero.
Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa PLN adalah BUMN terbesar dalam kepemilikan aset-aset yang berbentuk barang tidak bergerak, selain melakukan pemutaran uang publik secara harian dari penjualan energi listrik kepada masyarakat maupun dunia industri, ujarnya.
“Belum cukup menjamah dua BUMN strategis itu. Rini mendorong penempatan Djarot Kusumayakti yang adalah anak buah Sofyan Basir sebagai salah satu Direktur di Bank BRI menjadi Dirut Badan Urusan Logistik (Bulog),” katanya.
“Bulog merupakan jantung dalam negara ini sebab kewenangannya akan sangat signifikan mempengaruhi konstelasi dalam bernegara sebab terkait mengelola pangan dan turunannya bagi masyarakat Indonesia,” ungkap Junisab.
Penempatan dua orang petinggi Bank BRI itu menurut kami diduga penuh dengan aroma bau politis yang sangat menyengat, karena terkait Djarot yang diduga berdarah-darah terkait dugaan kredit fiktif yang jumlahnya ratusan miliar saat dia menjadi pimpinan Bank BRI di Sumatera Selatan.
Pasca kejadian berdarah yang herannya tidak sampai menyeretnya ke depan hukum itu, ternyata kemudian dia ‘ditarik’ Sofyan menjadi Tim saat fit and propertes pemilihan jajaran Direksi Bank BRI dijaman Dahlan Iskan.
“Mereka berhasil menjadi petinggi Bank BRI. Terkait BRI, akan kami paparkan kajiannya pasca paparan terhadap attitude dari Dwi yang mantan Dirut PT Semen Gresik”.
Dwi Soetjipto yang sebelumnya adalah Dirut PT Semen Gresik diduga kuat memiliki ‘jejak hitam’ dalam kaitan proyek yang dibangun oleh PT. Semen Tonasa yang sebagian besar sahamya adalah mililk PT. Semen Gresik.
Saat itu PT Semen Tonasa membangun pabrik baru yang disebut dengan proyek Tonasa V. Kebetulan, diwaktu yang bersamaan, PT. Semen Gresik juga membangun pabrik baru yang juga disebut dengan proyek Tuban V.
Pada awalnya, lanjut Junisab, pengadaan barang untuk proyek Tonasa V dilakukan oleh PT Semen Tonasa. Tetapi kemudian Dwi Sucipto diduga meminta agar pengadaan barang proyek tersebut dipusatkan ke PT Semen Gresik.
Pemusatan itu terasa janggal karena sebenarnya PT Semen Tonasa sanggup untuk melakukan sendiri tender proyek itu. Tetapi karena kemauan Dwi maka proses pengadaan barang untuk Main Equipment dilakukan secara terpusat di PT Semen Gresik.
“Akhirnya pada penetapan pemenang tender pengadaan barang tersebut, proyek yang dianggarkan dalam bentuk mata uang euro itu menghasilkan pemenang yang patut diduga dimenangkan dengan jalan melawan hukum adalah sebagai berikut: paket 1 senilai 13.277.205 pemenangnya Thyssenkrupp,” imbuh Junisab.
“Lalu pada paket 2A senilai 56.230.730 pemenangnya adalah FLSmidth. Di paket 2B senilai 2.256.600 pemenangnya adalah Loesche. Dan terakhir di paket 3 senilai 22.532.891 pemenangnya adalah Claudius Peter,” paparnya.
Tentu dibutuhkan sinergi yang kuat berupa kemauan politik dari DPR RI dan Presiden serta BPK RI dan aparat hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri untuk menelisik dugaan seperti yang sudah kami paparkan tersebut. “Atau, Jokowi mencarikan personal lain yang paling kuat dan tepat menduduki Kementerian BUMN karena terbukti Rini tidak kapabel,” katanya.