free html hit counter

Keterikatan India dan Indonesia dalam Goresan Sejarah

BeritaBintang –    JIKA generasi “awam” Indonesia saat ini menyebut nama India, yang terbersit pertama kali dalam pikiran, mesti nama-nama seperti Shakrukh Khan, Amitabh Bachchan, atau paling ‘banter’ Mahatma Gandhi.

Tapi apakah Anda mengenal figur KL Punjabi, Biju Patnaik, atau setidaknya Pandit Jawaharlal Nehru? Bisa ditebak, tak banyak yang mengenal dua nama ini.

Padahal jika merunut sejarah berdirinya republik ini, India punya peranan besar dan tak ternilai artinya buat mengundang pengakuan lain dari dunia internasional, terkait kemerdekaan Indonesia.

Jika kembali menilik garis panjang “benang merah” antara India dan Indonesia, hubungan keduanya sedianya sudah terjalin sejak hampir dua milenium (dua ribu tahun) silam.

Tiga (Hindu, Budha dan Islam) dari enam agama yang diakui Indonesia saat ini, datangnya dari India. Belum lagi dengan berbagai hasil silang budaya India-Indonesia yang tercipta dalam kisah Ramayana dan Mahabharata, hingga terciptanya candi-candi Indonesia yang kini sudah dikenal dunia.

Sayangnya, hubungan dua negara bertetangga (berbatasan di Laut Andaman) ini sempat terputus, lantaran India dan Indonesia sempat berada dalam cengkeraman kolonialisme Inggris dan Belanda.

Namun di awal-awal abad 20, hubungan keduanya sempat kembali terjalin, setelah terjadi saling berbalas kunjungan beberapa tokoh, seperti Rabindranath Tagore dan Ki Hadjar Dewantara.

Kedatangan Tagor, sastrawan pemenang Penghargaan Nobel ke Indonesia via perjalanan laut di Tanjung Priok, seolah menyambung “nostalgia” keterikatan dua negara.

Ki Hadjar Dewantara, pelukis Affandi dan Dr. Ida Bagus Mantra, kemudian membalas kunjungan itu dengan menemui Tagor di Shanti Niketan.

Jalinan India-Indonesia di era Revolusi Fisik (1945-1949)

Di masa revolusi fisik, keeratan India dan Indonesia kian nampak. India jadi salah satu negara yang mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945, setelah Mesir. India juga memainkan peran penting yang membawa konflik Indonesia-Belanda menjadi isu internasional ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bak ingin berbalas budi, Perdana Menteri (PM) Indonesia, Sutan Sjahrir menyampaikan maksudnya, untuk menembus blokade ekonomi Belanda dengan diplomasi beras India, medio Mei 1946.

Setelah PM Nehru menyambut niat Sjahrir tersebut, utusan India, KL Punjabi menggelar kesepakatan resmi pengiriman ratusan ribu ton beras dengan Sjahrir, ditandai “tanda jadi” berupa sekeranjang beras yang ditutupi bendera merah putih.

“Bingkisan” itu dimaksudkan Sjahrir, untuk dihadiahkan kepada Raja Muda Lord Wavell di India, via KL Punjabi. Kepanitiaan pun dibentuk pada 27 Mei 1946 dengan diketauai Ir. Subianto. Pengiriman beras itu diberangkatkan dengan kapal-kapal India dari Pelabuhan Cirebon, Probolinggo dan Banyuwangi.

Sebagai “balasan” pengiriman beras, melalui PM Nehru, menguatkan pengakuan terhadap Indonesia, dengan mengundang PM Sjahrir dan Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta ke New Delhi dalam Konferensi Inter-Asian Relations (23 Maret-2 April 1947).

Tahu bahwa Sjahrir dan Hatta bakal kesulitan menembus blokade Belanda, sebagaimana dikutip dari buku ‘Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia’, Nehru pun mengutus kawannya seorang pebisnis asal Bengal, Bijayananda “Biju” Patnaik untuk “menjemput” Sjahrir.

Pada 31 Maret 1947 malam, Patnaik dengan pesawat Inggris mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, untuk kemudian langsung kembali ke Delhi dengan membawa serta Sjahrir, sang istri Poppy Saleh, Ali Boediardjo dan Soedjatmoko.

Sesampainya di Bandara Delhi, Sjahrir disambut langsung oleh Nehru dan mendaratnya PM Indonesia itu, juga jadi sorotan bagi media-media India. Seketika, figur Sjahrir mulai dikenal publik India.

Sjahrir bahkan diinapkan di rumah pribadi Nehru dan dipertemukan dengan Gubernur Jenderal Inggris di India, Laksamana Lord Louis Mountbatten.

Sedikit membahas Patnaik yang membawa Sjahrir ke India, sejatinya pebisnis asal Bengal ini sudah lama berperjalanan bolak-balik dari India ke Indonesia. Bahkan terdapat kisah menarik tentang Patnaik yang dikaitkan dengan keluarga Presiden pertama RI, Soekarno.

Pada Januari 1947 ketika Patnaik yang dikemudian hari menjadi menteri, bertemu Soekarno, kebetulan kala itu istri kedua Soekarno, Fatmawati, baru saja melahirkan anak kedua mereka di saat hujan tengah turun dengan lebatnya.

Di saat itulah, Patnaik sempat memberikan nama buat adik Guntur Soekarnoputra itu, dengan nama Meghawati – atas permintaan Soekarno pribadi. Dalam bahasa sansekerta, artinya awan hujan. Jadilah anak kedua Soekarno itu yang kemudian menjadi Presiden kelima RI, dinamai Megawati.