BeritaBintang – Tidak sedikit tradisi Tionghoa yang dibawa ke Indonesia. Termasuk tradisi mengikat kaki untuk perempuan bangsa Tiongkok.
Sisa-sisa tradisi tersebut kini masih tersimpan dalam Museum Benteng Heritage yang berada di Jalan Cilame No.18/20, kawasan Pasar Lama, Tangerang.
Salah satu staf museum, Dessy menceritakan lebih lanjut tentang tradisi mengikat kaki yang berasal dari Tiongkok. Tradisi ini diperkirakan telah ada sejak zaman Dinasti Xia atau sebelum menginjak abad ke-20. Tradisi yang dilakukan secara turun temurun dalam Suku Han ini dianggap sebagai lambang kecantikan.
Usia yang paling tepat untuk melakukan tradisi ini adalah umur tiga sampai enam tahun. Karena pada usia tersebut, tulang seseorang masih mudah untuk dibentuk.
Dalam prakteknya, keempat jari kaki selain jempol diikat ke bawah telapak kaki dengan kain. Selanjutnya, kain tersebut diikat erat sehingga tidak memungkinkan bagi empat jari tersebut untuk tumbuh.
“Semakin kecil kaki semakin dianggap cantik dan bangsawan,” ujar Dessy seraya menunjukkan beberapa pasang sepatu berukuran kecil yang tersimpan rapi di meja kaca.
Dengan tradisi yang demikian, tidak heran banyak wanita dari Suku Han memiliki kaki berukuran kecil, hasil dari tradisi yang dilakukan selama beberapa tahun.
Ukuran kaki yang ideal bagi wanita pada saat itu adalah 3 inci. Sangat kecil memang, namun semakin kecil ukuran kaki, semakin mereka dianggap cantik oleh kaum lelaki.
Museum Benteng Heritage sendiri menyimpan tujuh pasang sepatu berukuran kecil dengan berbagai warna dan motif bunga-bunga khas Tiongkok.
Dua di antaranya merupakan sepatu asli yang pernah dipakai pada zaman dahulu. Sementara lima pasang lainnya merupakan replika. Meski demikian, sepatu-sepatu tersebut tidak boleh dipotret oleh pengunjung.
Selain sebagai lambang kecantikan, rupanya wanita berkaki kecil ini menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan oleh para suami.
Pasalnya, memiliki istri berkaki kecil menunjukkan bahwa sang pria cukup bergengsi dan bangga memiliki istri yang akan setia di sampingnya. Sementara sang suami mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, tanpa mengandalkan sang istri.
“Ini melambangkan kebebasan dari perbudakan. Kemampuan suami untuk menghidupi istri yang tidak boleh bekerja, tapi selalu melayani suami,” terang Dessy.
Namun, tradisi mengikat kaki ini diberhentikan paksa oleh presiden pertama Tiongkok, Sun Yat-Sen pada abad ke-20. Selama bertahun-tahun selanjutnya, tradisi ini perlahan mulai dihilangkan hingga ke pedalaman.